(Oleh Wim Geissler)
Sudah lewat lebih dari satu dekade sejak Desmond Tutu berkirim surat kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mendukung hak menentukan nasib rakyat Papua. Uskup Agung (emeritus) Gereja Anglikan (Johannesburg dan Cape Town) Afrika Selatan itu kini semakin uzur. Usianya sudah 87 tahun. Kesehatannya semakin rapuh. Pemenang Nobel Perdamaian 1984 itu bahkan sudah bicara tentang haknya sebagai manusia untuk mengakhiri hidup sendiri secara terhormat.
Tetapi, surat yang dikirimkannya itu seperti tak pernah menjadi lapuk atau kuno. Paling tidak, bagi mereka yang memperjuangkan keadilan untuk rakyat Papua, isi surat itu tetap terasa segar dan terus dibicarakan. Ia dikutip dalam berbagai tulisan dan kajian.
Di balik keterkenalan surat Desmond Tutu, muncul pertanyaan kritis. Seberapa banyak di antara generasi muda Papua (apalagi generasi muda nonPapua) yang mengetahui dan memahami dukungan semacam apa yang disampaikan Desmond Tutu dalam suratnya? Seperti apakah isi selengkapnya surat tokoh rekonsiliasi Afrika Selatan itu? Bagaimana kisah perjalanan surat tersebut hingga kandas di meja Sekretaris Jenderal PBB kala itu, Kofi Annan?
Adalah penting untuk mengetahui dan memahami surat Desmond Tutu apabila ingin memahami Papua. Di satu sisi, ia penting karena merupakan dokumen sejarah. Tetapi, ia lebih bernilai lagi oleh spirit yang mendasari dan menjiwainya. Spirit itu dapat ditelisik dari kata demi kata di dalamnya, yang ternyata terus hidup, jauh sesudah kertas-kertas itu disimpan sebagai arsip.
Selain berkirim surat, uskup agung kulit hitam pertama di Afrika Selatan itu juga beberapa kali membuat pernyataan mengungkapkan dukungan bagi rakyat Papua. Penentuan nasib sendiri Papua adalah salah satu obsesinya, selain dukungannya pada kemerdekaan Palestina. https://www.qureta.com/post/desmond-tutu-dan-nubuat-tentang-paspor-papua
0 Komentar